Sabtu, 28 Februari 2009

Cerita Mural di Perempatan Galeria








Cerita Mural di Perempatan Galeria

Perempatan Galeria bisa dibilang merupakan salah satu jantung kota Yogyakarta. Perempatan ini menghubungkan daerah-daerah teramai di kota gudeg ini, dari Jalan Jendral Sudirman dengan bangunan Rumah Sakit Bethesda yang tua, Jalan Sagan yang ramai, Jalan solo yang menjadi pusat perbelanjaan dan wilayah Lepuyangan yang terkenal dengan Stasiun Lempuyangan, stasiun tertua di Yogyakarta. Perempatan ini kini menjadi salah satu daerah dengan lalu lintas terpadat.

Melihat atau melewatinya begitu saja, perempatan ini akan terasa hampa. Namun, jika mengetahui sejarahnya, tempat ini seketika menjadi lebih bermakna. Di timur laut perempatan ini dulu pernah berdiri sebuah tempat perjudian. Tempat itu ramai setiuap malam, menjadi semacam Las Vegas di kota Yogyakarta yang kecil. Menurut cerita, siapa yang sekali saja masuk ke tempat perjudian itu akan sulit untuk keluar kembali sebab akan selalu ketagihan dan terikat dengan jaringan penjudi di dalamnya.

Dulu, di sebelah barat tempat perjudian itu, terdapat sebuah warung kecil yang menjual makanan kecil. warung itu menjadi saksi kekalahan para penjudi, sebab di warung itulah banyak penjudi yang kalah bermain berkeluh kesah dan meratapai nasib. Pemain judi yang menang jarang singgah ke warung ini, sebab cenderung menghabiskan uang hasil mainnya untuk kemewahan. Di warung itu juga, para pemain judi yang kalah menatap kemewahan yang ada di seberangnya, Galeria Mall.

Kini, tempat judi itu sudah tidak terdapat lagi. Namun, jejak keberadaan tempat judi itu masih terdapat, berupa mural bertema "Membeli Mimpi" yang digagas oleh Farhanski dan Apotik Komik. Mural itu tergambar di dinding sebelah barat tempat perjudian. Gagasan mural tersebut berasal dari pengalaman Farhanski ketika melihat para penjudi yang kalah main berkeluh kesah di warung. Mural itu seolah ingin memberi sindiran pada para penjudi yang menggantungkan hidup seluruhnya pada keberuntungan.

Gambaran mural yang hendak menyentil para penjudi yang sering main di sebelah timur kawasan tersebut tampak jelas. Misalnya lewat sebuiah tulisan besar yang berbunyi "Urip Waton Ngelinding", berarti hidup asal berputar. Tulisan tersebut hendak menyentil hidup seorang penjudi yang seolah-olah berada di putaran dadu, atau asal menggelinding saja seperti roda, tanpa perencanaan dan upaya untuk meraih hidup yang lebih baik. Jika menang, langsung kaya, demikian juga jika kalah, langsung miskin seketika.

Tulisan lain yang masih menyentil para penjudi berbunyi, "Nggelindinge wong ndhuwur iso mabur, nggelindinge wong ngisor mundak ndlosor", kira-kira berarti bahwa kemenangan bisa mengantarkan orang ke angkasa sementara kekalahan bisa membawa orang jatuh ke tanah. Sedikit tulisan yang hendak menyadarkan berada di sebelah utara tembok, berbunyi, "Rejeki niku Gusti allah sing ngatur, ora usah ngoyo lan nggresulo", berarti rejeki itu Tuhan yang mengatur, tak perlu ngoyo dan berkeluh kesah.

Gambar-gambar pada mural pun mendukung pesan-pesan dalam teks yang hendak disampaikan. Ada gambar 'raja' dan 'ratu', tokoh-tokoh dalam kartu yang sering dipergunakan untuk judi. Terdapat pula gambar-gambar barang mewah yang sering dimenangkan kala berjudi, semisal saja berlian. Banyak terdapat gambar roda dan kaki manusia, mungkin menggambarkan pesan yang disampaikan bahwa hidup seorang penjudi ibarat roda yang terus menggelinding tanpa bisa diprediksi.

Semula, gambaran mural yang menyindir para penjudi itu tampil memenuhi tembok, namun kini hanya tampak sebagian saja. Beberapa bagian, terutama bagian bawah, kini ditumpuk dengan bentuk mural lain yang dibuat oleh orang yang berbeda. Kehadirannya mungkin saja dianggap merusak gambaran sebelumnya, namun sebenarnya juga ingin menanggapi aktivitas lain yang sering berlangsung di perempatan ini. Lagi-lagi mural bisa menceritakan kisah keseharian perempatan Galeria ini.

Kisah keseharian itu adalah pemasangan poster-poster iklan di dinding yang bermural itu. Perempatan Galeria dengan keramaiannya tentulah sangat strategis untuk mempromosikan beragam kebutuhan. Sayangnya, pemasangan poster iklan itu seolah tak peduli dengan keberadaan mural yang sengaja ingin turut merawat dinding yang tak terperhatikan itu. Alhasil, beberapa orang pun mengecat beberapa bagian mural yang ditempeli poster sebagai bentuk protes.

Bentuk protes terhadap pemasangan poster di permukaan mural itu tampak jelas. Pembuatan mural yang lebih berupa tulisan-tulisan itu dilakukan langsung dengan mengecat langsung, tanpa melepas dahulu poster-poster yang sebelumnya menempel. Saat YogYES mendekat, tampak permukaan pada mural itu tidak rata, menunjukkan adanya kertas-kertas poster yang masih menempel. Meski telah diprotes secara tidak langsung, pemasangan poster itu masih berlangsung hingga sekarang.

Begitu istimewanya mural di wilayah ini hingga orang-orang sekitar yang sehari-hari bekerja sebagai pedagang pun ada yang terlibat dalam pembuatannya. Jadi tidak eksklusif sebagai karya agung senimannya semata, tetapi juga merupakan karya warga sekitar juga, karena apa yang digambarkan juga didiskusikan dan dibuat dengan peran serta warga sekitar, bahkan sempat diganti 3 kali dalam tempo pembuatannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar