Sabtu, 28 Februari 2009

foto kota jogja





Pantai Sundak, Perkelahian Asu dan Landak yang Menuai Berkah





Pantai Sundak, Perkelahian Asu dan Landak yang Menuai Berkah

Pantai Sundak tak hanya memiliki pemandangan alam yang mengasyikkan, tetapi juga menyimpan cerita. Nama Sundak ternyata mengalami evolusi yang bukti-buktinya bisa dilacak secara geologis.

Agar tahu bagaimana evolusinya, maka pengunjung mesti tahu dulu kondisi pinggiran Pantai Sundak dulu dan kini. Di bagian pinggir barat pantai ketika YogYES berkunjung terdapat masjid dan ruang kosong yang sekarang dimanfaatkan sebagai tempat parkir. Sementara di sebelah timur terdapat gua yang terbentuk dari batu karang berketinggian kurang lebih 12 meter. Memasuki gua, akan dijumpai sumur alami tempat penduduk mendapatkan air tawar.

Wilayah yang diuraikan di atas sebelum tahun 1930 masih terendam lautan. Konon, air sampai ke wilayah yang kini dibangun masjid, batu karang yang membentuk gua pun masih terendam air. Seiring proses geologi di pantai selatan, permukaan laut menyusut dan air lebih menjorok ke laut. Batu karang dan wilayah di dekat masjid akhirnya menjadi daratan baru yang kemudian dimanfaatkan penduduk pantai untuk aktivitas ekonominya hingga saat ini.

Ada fenomena alam unik akibat aktivitas tersebut yang akhirnya menjadi titik tolak penamaan pantai ini. Jika musim hujan tiba, banyak air dari daratan yang mengalir menuju lautan. Akibatnya, dataran di sebelah timur pantai membelah sehingga membentuk bentukan seperti sungai. Air yang mengalir seperti mbedah (membelah) pasir. Bila kemarau datang, belahan itu menghilang dan seiring dengannya air laut datang membawa pasir. Fenomena alam inilah yang menyebabkan nama pantai menjadi Wedibedah (pasir yang terbelah). Saat YogYES datang wedi tengah tidak terbelah.

Perubahan nama berlangsung beberapa puluh tahun kemudian. Sekitar tahun 1976, ada sebuah kejadian menarik. Suatu siang, seekor anjing sedang berlarian di daerah pantai dan memasuki gua karang bertemu dengan seekor landak laut. Karena lapar, si anjing bermaksud memakan landak laut itu tetapi si landak menghindar. Terjadilah sebuah perkelahian yang akhirnya dimenangkan si anjing dengan berhasil memakan setengah tubuh landak laut dan keluar gua dengan rasa bangga. Perbuatan si anjing diketahui pemiliknya, bernama Arjasangku, yang melihat setengah tubuh landak laut di mulut anjing. Mengecek ke dalam gua, ternyata pemilik menemukan setengah tubuh landak laut yang tersisa. Nah, sejak itu, nama Wedibedah berubah menjadi Sundak, singkatan dari asu (anjing) dan landak.

Tak dinyana, perkelahian itu membawa berkah bagi penduduk setempat. Setelah selama puluhan tahun kekurangan air, akhirnya penduduk menemukan mata air. Awalnya, si pemilik anjing heran karena anjingnya keluar gua dengan basah kuyup. Hipotesanya, di gua tersebut terdapat air dan anjingnya sempat tercebur ketika mengejar landak. Setelah mencoba menyelidiki dengan beberapa warga, ternyata perkiraan tersebut benar. Jadilah kini, air dalam gua dimanfaatkan untuk keperluan hidup penduduk. Dari dalam gua, kini dipasang pipa untuk menghubungkan dengan penduduk. Temuan mata air ini mengobati kekecewaan penduduk karena sumur yang dibangun sebelumnya tergenang air laut.

Nah, bila kondisi tahun 1930 saja seperti yang dikatakan di atas, dapat diperkirakan kondisi ratusan tahun sebelumnya. Tentu sangat banyak organisme laut yang memanfaatkan bagian bawah karang yang kini menjadi gua dan wilayah yang kini menjadi daratan. Karenanya, banyak arkeolog percaya bahwa sebagai konsekuensi dari proses geologis yang ada, banyak organisme laut yang tertinggal dan kini tertimbun menjadi fosil. Soal fosil apa yang ditemukan, memang hingga kini belum banyak penelitian yang mengungkapkan.

Selain menawarkan saksi bisu sejarahnya, Sundak juga menawarkan suasana malam yang menyenangkan. Anda bisa menikmati angin malam dan bulan sambil memesan ikan mentah untuk dibakar beramai-ramai bersama teman. Dengan membayar beberapa ribu, Anda dapat membeli kayu untuk bahan bakar. Kalau malas, pesan saja yang matang sehingga siap santap. Yang jelas, tak perlu bingung mencari tempat menginap. Pengunjung bisa tidur di mana saja, mendirikan tenda, atau tidur saja di bangku warung yang kalau malam tak terpakai. Kegelapan tak perlu diributkan, bukankah membosankan jika hidup terus terang benderang?

Kalau mau, berinteraksi dengan penduduk bisa menjadi suatu pencerahan. Anda bisa mengetahui bagaimana penduduk hidup, kebudayaan mereka, dan tentu saja orang baru yang mungkin saja mampu mengubah pandangan hidup anda. Menemui Mbah Tugiman yang biasa berjaga di tempat parkir atau Mbah Arjasangku bisa jadi pilihan. Mereka merupakan salah satu sesepuh di pantai Sundak. Bercakap dengan mereka membuat anda tidak sekedar menyaksikan bukti sejarah tetapi juga mendapat cerita dari orang yang menyaksikan bagaimana sejarah terukir. Datanglah, semua yang di sana sudah menunggu!

Kasongan, Memburu Keramik di Pemukiman Kundi





Kasongan, Memburu Keramik di Pemukiman Kundi

Pada masa penjajahan Belanda, di salah satu daerah selatan Yogyakarta pernah terjadi peristiwa yang mengejutkan bahkan menakutkan warga setempat dengan ditemukannya seekor kuda milik Reserse Belanda yang mati di atas tanah sawah milik seorang warga. Karena takut akan hukuman, warga tersebut melepaskan hak tanahnya dan tidak mengakui tanahnya lagi. Hal ini diikuti oleh warga lainnya. Tanah yang telah dilepas inipun akhirnya diakui oleh penduduk desa lain. Akibat dari tidak memiliki tanah persawahan lagi, warga setempat akhirnya memilih menjadi pengrajin keramik untuk mainan dan perabot dapur hingga kini. Hal ini terungkap dalam hasil wawancara Prof. Gustami dkk dengan sesepuh setempat pada tahun 1980-an.

Daerah itulah yang kita kenal dengan nama Kasongan hingga hari ini. Sebuah desa di Padukuhan Kajen yang terletak di pegunungan rendah bertanah gamping. Berjarak 15-20 menit berkendara dari pusat kota.

Desa Kasongan merupakan wilayah pemukiman para kundi, yang berarti buyung atau gundi (orang yang membuat sejenis buyung, gendi, kuali dan lainnya yang tergolong barang dapur juga barang hias).

"Berawal dari keseharian nenek moyang yang mengempal-ngempal tanah yang ternyata tidak pecah bila disatukan, lalu mulai membentuk-bentuknya menjadi berbagai fungsi yang cenderung untuk jadi mainan anak-anak atau barang keperluan dapur. Akhirnya kebiasaan itu mulai diturunkan hingga generasi sekarang" tutur Pak Giman, salah satu pekerja di sanggar Loro Blonyo.

Berkunjung ke desa Kasongan, wisatawan akan disambut dengan hangat oleh penduduk setempat. Sekedar melihat-lihat ruang pajang atau ruang pamer yang dipenuhi berbagai hasil kerajinan keramik. Dan jika tertarik melihat pembuatan keramik, wisatawan dapat mengunjungi beberapa galeri keramik yang memproduksi langsung kerajinan khas itu di tempat. Mulai dari penggilingan, pembentukan bahan menggunakan perbot, penjemuran produk yang biasanya memakan waktu 2-4 hari. Produk yang telah dijemur itu kemudian dibakar, sebelum akhirnya di-finishing menggunakan cat tembok atau cat genteng.

Bekerja secara kolektif, biasanya sebuah galeri adalah usaha keluarga secara turun temurun. Meski sekarang pembuatan keramik melibatkan tetangga sekitar tempat tinggal pemilik galeri, namun pihak keluarga tetap bertanggung jawab untuk pemilihan bahan dan pengawasan produksi.

Sentuhan Desain Modern

Pada awalnya keramik ini tidak memiliki corak sama sekali. Namun legenda matinya seekor kuda telah menginspirasi para pengrajin untuk memunculkan motif kuda pada banyak produk, terutama kuda-kuda pengangkut gerabah atau gendeng lengkap dengan keranjang yang diletakkan di atas kuda, selain dari motif katak, jago dan gajah.

Seiring perkembangan, dengan masuknya pengaruh modern dan budaya luar melalui berbagai media, setelah pertama kali diperkenalkan tentang Kasongan oleh Sapto Hudoyo sekitar 1971-1972 dengan sentuhan seni dan komersil serta dikomersilkan dalam skala besar oleh Sahid Keramik sekitar tahun 1980-an, kini wisatawan dapat menjumpai berbagai aneka motif pada keramik. Bahkan wisatawan dapat memesan jenis motif menurut keinginan seperti burung merak, naga, bunga mawar dan banyak lainnya. Jenis produksi sendiri sudah mencakup banyak jenis. Tidak lagi berkutat pada mainan anak-anak (alat bunyi-bunyian, katak, celengan) serta keperluan dapur saja (kuali, pengaron, kendil, dandang, kekep dan lainnya). Memasuki gapura Kasongan, akan tersusun galeri-galeri keramik sepanjang bahu jalan yang menjual berbagai barang hias. Bentuk dan fungsinya pun sudah beraneka ragam, mulai dari asbak rokok kecil atau pot bunga yang tingginya mencapai bahu orang dewasa. Barang hias pun tidak hanya yang memiliki fungsi, tetapi juga barang-barang yang hanya sekedar menjadi pajangan.

Patung Keramik Loro Blonyo

Salah satu keramik pajangan yang cukup terkenal adalah sepasang patung pengantin yang sedang duduk sopan. Sepasang patung ini dikenal dengan sebutan Loro Blonyo yang pertama kali dibuat oleh sanggar Loro Blonyo milik pak Walujo. Patung ini diadopsi dari sepasang patung pengantin milik Kraton Yogyakarta. Secara pengartian Jawa, Loro berarti dua atau sepasang, sementara Blonyo bermakna dirias melalui prosesi pemandian dan didandani. "Akan tetapi makna sebenarnya akan Loro Blonyo masih menjadi pertanyaan para pekerja di Kasongan" ungkap Pak Giman.

Adanya kepercayaan patung Loro Blonyo akan membawa hoki dan membuat kehidupan rumah tangga langgeng bila diletakkan di dalam rumah, menurut penuturan Pak Giman pada YogYES, justru membawa pengaruh positif terhadap penjualan sepasang patung keramik ini. Sementara beberapa wisatawan manca negara yang menyukai bentuknya, memesan khusus dengan berbagai bentuk seperti penari, pemain gitar, pragawati dan lain sebagainya. Pakaiannya pun tidak lagi memakai pakem Jawa, selain mengadopsi pakaian khas beberapa negara, yang paling banyak memakai motif Bali dan Thailand. Beberapa galeri keramik sekarang telah menjual sepasang patung unik ini yang masih terus diproduksi dengan beberapa bentuk yang berbeda-beda.

Desa Wisata

Semenjak akhir abad ke 20, setelah Indonesia mengalami krisis, kini di Kasongan wisatawan dapat menjumpai berbagai produk selain gerabah. Masuknya pendatang yang membuka galeri di Kasongan adalah salah satu pengaruhnya. Produk yang dijual juga masih termasuk kerajinan lokal seperti kerajinan kayu kelapa, kerajinan tumbuhan yang dikeringkan atau kerajinan kerang. "Yang namanya usaha itukan mengikuti arus dan perkembangan, melihat peluang yang ada" kata Pak Giman. Akan tetapi kerajinan gerabah tetaplah menjadi tonggak utama mata pencaharian warga setempat. "Udah bakatnya, lagian tidak punya kemampuan lain. Lha wong paling tinggi pendidikan kita SLTA, itupun beberapa" tambahnya.

Kerajinan keramik dengan berbagai bentuk dan motif yang modern bahkan artistik, dan berbagai kerajinan lainnya sebagai tambahan adalah daya tarik Kasongan saat ini. Sebuah tempat wisata penuh cerita serta barang indah hasil keahlian tangan penduduk setempat mengaduk tanah liat.

Dua bulan pasca gempa, kini di Kasongan telah banyak galeri yang aktif kembali, meski beberapa masih dalam tahap pembangunan ulang. Sejauh ini tidak terlihat lagi tanda-tanda kekhawatiran dari pemilik maupun pekerja. Penduduk setempat berharap wisatawan akan kembali mengunjungi Kasongan seperti saat sebelum gempa.

Cerita Mural di Perempatan Galeria








Cerita Mural di Perempatan Galeria

Perempatan Galeria bisa dibilang merupakan salah satu jantung kota Yogyakarta. Perempatan ini menghubungkan daerah-daerah teramai di kota gudeg ini, dari Jalan Jendral Sudirman dengan bangunan Rumah Sakit Bethesda yang tua, Jalan Sagan yang ramai, Jalan solo yang menjadi pusat perbelanjaan dan wilayah Lepuyangan yang terkenal dengan Stasiun Lempuyangan, stasiun tertua di Yogyakarta. Perempatan ini kini menjadi salah satu daerah dengan lalu lintas terpadat.

Melihat atau melewatinya begitu saja, perempatan ini akan terasa hampa. Namun, jika mengetahui sejarahnya, tempat ini seketika menjadi lebih bermakna. Di timur laut perempatan ini dulu pernah berdiri sebuah tempat perjudian. Tempat itu ramai setiuap malam, menjadi semacam Las Vegas di kota Yogyakarta yang kecil. Menurut cerita, siapa yang sekali saja masuk ke tempat perjudian itu akan sulit untuk keluar kembali sebab akan selalu ketagihan dan terikat dengan jaringan penjudi di dalamnya.

Dulu, di sebelah barat tempat perjudian itu, terdapat sebuah warung kecil yang menjual makanan kecil. warung itu menjadi saksi kekalahan para penjudi, sebab di warung itulah banyak penjudi yang kalah bermain berkeluh kesah dan meratapai nasib. Pemain judi yang menang jarang singgah ke warung ini, sebab cenderung menghabiskan uang hasil mainnya untuk kemewahan. Di warung itu juga, para pemain judi yang kalah menatap kemewahan yang ada di seberangnya, Galeria Mall.

Kini, tempat judi itu sudah tidak terdapat lagi. Namun, jejak keberadaan tempat judi itu masih terdapat, berupa mural bertema "Membeli Mimpi" yang digagas oleh Farhanski dan Apotik Komik. Mural itu tergambar di dinding sebelah barat tempat perjudian. Gagasan mural tersebut berasal dari pengalaman Farhanski ketika melihat para penjudi yang kalah main berkeluh kesah di warung. Mural itu seolah ingin memberi sindiran pada para penjudi yang menggantungkan hidup seluruhnya pada keberuntungan.

Gambaran mural yang hendak menyentil para penjudi yang sering main di sebelah timur kawasan tersebut tampak jelas. Misalnya lewat sebuiah tulisan besar yang berbunyi "Urip Waton Ngelinding", berarti hidup asal berputar. Tulisan tersebut hendak menyentil hidup seorang penjudi yang seolah-olah berada di putaran dadu, atau asal menggelinding saja seperti roda, tanpa perencanaan dan upaya untuk meraih hidup yang lebih baik. Jika menang, langsung kaya, demikian juga jika kalah, langsung miskin seketika.

Tulisan lain yang masih menyentil para penjudi berbunyi, "Nggelindinge wong ndhuwur iso mabur, nggelindinge wong ngisor mundak ndlosor", kira-kira berarti bahwa kemenangan bisa mengantarkan orang ke angkasa sementara kekalahan bisa membawa orang jatuh ke tanah. Sedikit tulisan yang hendak menyadarkan berada di sebelah utara tembok, berbunyi, "Rejeki niku Gusti allah sing ngatur, ora usah ngoyo lan nggresulo", berarti rejeki itu Tuhan yang mengatur, tak perlu ngoyo dan berkeluh kesah.

Gambar-gambar pada mural pun mendukung pesan-pesan dalam teks yang hendak disampaikan. Ada gambar 'raja' dan 'ratu', tokoh-tokoh dalam kartu yang sering dipergunakan untuk judi. Terdapat pula gambar-gambar barang mewah yang sering dimenangkan kala berjudi, semisal saja berlian. Banyak terdapat gambar roda dan kaki manusia, mungkin menggambarkan pesan yang disampaikan bahwa hidup seorang penjudi ibarat roda yang terus menggelinding tanpa bisa diprediksi.

Semula, gambaran mural yang menyindir para penjudi itu tampil memenuhi tembok, namun kini hanya tampak sebagian saja. Beberapa bagian, terutama bagian bawah, kini ditumpuk dengan bentuk mural lain yang dibuat oleh orang yang berbeda. Kehadirannya mungkin saja dianggap merusak gambaran sebelumnya, namun sebenarnya juga ingin menanggapi aktivitas lain yang sering berlangsung di perempatan ini. Lagi-lagi mural bisa menceritakan kisah keseharian perempatan Galeria ini.

Kisah keseharian itu adalah pemasangan poster-poster iklan di dinding yang bermural itu. Perempatan Galeria dengan keramaiannya tentulah sangat strategis untuk mempromosikan beragam kebutuhan. Sayangnya, pemasangan poster iklan itu seolah tak peduli dengan keberadaan mural yang sengaja ingin turut merawat dinding yang tak terperhatikan itu. Alhasil, beberapa orang pun mengecat beberapa bagian mural yang ditempeli poster sebagai bentuk protes.

Bentuk protes terhadap pemasangan poster di permukaan mural itu tampak jelas. Pembuatan mural yang lebih berupa tulisan-tulisan itu dilakukan langsung dengan mengecat langsung, tanpa melepas dahulu poster-poster yang sebelumnya menempel. Saat YogYES mendekat, tampak permukaan pada mural itu tidak rata, menunjukkan adanya kertas-kertas poster yang masih menempel. Meski telah diprotes secara tidak langsung, pemasangan poster itu masih berlangsung hingga sekarang.

Begitu istimewanya mural di wilayah ini hingga orang-orang sekitar yang sehari-hari bekerja sebagai pedagang pun ada yang terlibat dalam pembuatannya. Jadi tidak eksklusif sebagai karya agung senimannya semata, tetapi juga merupakan karya warga sekitar juga, karena apa yang digambarkan juga didiskusikan dan dibuat dengan peran serta warga sekitar, bahkan sempat diganti 3 kali dalam tempo pembuatannya.

Jumat, 27 Februari 2009

pasar ngasem pasar burung tertua di jogja


Ngasem, Pasar Burung Tertua di Yogyakarta
Berkelana ke Pasar Ngasem bisa dikatakan keharusan setelah mengunjungi Kraton Yogyakarta. Selain karena lokasinya yang hanya 400 meter barat Kraton, juga karena pasar ini akan memberikan info penting tentang apa yang dianggap bergengsi di masa kerajaan dahulu. Setelah kuda sebagai alat transportasi dan keris sebagai senjata, burung ada di tempat ketiga sebagai pengukur status sosial. Pasar Ngasem menawarkan berbagai macam burung dengan keindahan kenampakan dan suaranya, serta kegiatan para pecintanya.
Sebuah bukti berupa foto menunjukkan bahwa Pasar Ngasem dengan barang dagangan utamanya berupa burung telah ada sejak tahun 1809. Letaknya yang tak jauh dari Kraton dimaksudkan agar para bangsawan mudah mengaksesnya. Sekitar tahun 1960-an, pasar ini semakin identik dengan burung setelah pedagang burung dari pasar Beringharjo dipindahkan ke tempat ini. Bukan hal mengherankan bila banyak turis menyebut pasar ini dengan bird market karena areal perdagangan burung sepertiga dari luas pasar.
Areal jual beli burung dijumpai dengan berbelok ke kiri dari pintu masuk. Burung perkutut yang dahulu laris dibeli para bangsawan hingga kini masih menjadi salah satu barang dagangan utama pasar ini. Jenis lain yang laris adalah kutilang, kepodang, emprit, prenjak, jalak, dan parkit. Burung yang jarang dibeli namun cukup menarik adalah burung hantu yang anakannya dijual Rp 35.000,-. Salah satu kios burung bahkan menjual burung elang yang kini telah terjual seharga Rp. 350.000,-. Selain binatangnya, kios burung juga menyediakan perlengkapan pemeliharaan seperti kandang dan pakan.
Pasar Ngasem memiliki nuansa berbeda dengan pasar burung lain. Di pasar ini, pengunjung tidak hanya dapat menikmati keindahan burung saja, tetapi juga pertunjukan yang digelar oleh para pecinta burung. Misalnya, pertunjukan keahlian burung dara untuk terbang kembali ke kandang dan adu kemerduan suara berbagai macam burung. Dari pertunjukan itulah biasanya ada calon pembeli yang merasa tertarik dan kemudian rela membayar berapa pun harganya. Penjual kadang juga mau mengajari melatih burung agar dapat berkicau atau sekedar bercakap-cakap tentang cara memelihara burung.
Kalau mau berkeliling, anda juga akan mengetahui bahwa Ngasem tak hanya menjual burung, tetapi juga binatang lain. Berbelok ke kanan dari areal penjualan burung, akan dijumpai kios pedagang ular. Menurut penjualnya, ular yang dijualnya langsung ditangkap dari habitatnya. Jenis ular yang dijual mulai dari ular air hingga kobra dan phyton. Bila ingin melihat, penjual akan mengambil peliharaannya agar pembeli dapat melihat detailnya. Selain ular, kios itu juga menjual berbagai reptil seperti iguana dan penyu. Seekor iguana kecil dijual dengan harga Rp 75.000 sementara bila telah besar harganya mencapai ratusan ribu.
Menuju bagian barat pasar, anda akan menjumpai kios yang menawarkan ikan hias. Jenis ikan dan harganya bervariasi. Ikan hias kecil yang suka berkoloni dijual dengan harga Rp. 1000 per ekor. Ikan hias lain yang dijual adalah arwana dan lou han yang dijual seharga ratusan ribu. Perlengkapan pemeliharaan ikan juga banyak dijual. Mulai dari akuarium dengan berbagai bentuk, karang-karangan, tanaman hias untuk akuarium, dan pakan ikan. Beberapa kios juga menyediakan jasa untuk set up pemeliharaan ikan laut.
Selain ikan, burung, dan ular, binatang peliharaan lain yang dijual adalah anjing, kucing, musang, berbagai jenis ayam hingga kelici dengan berbagai warnanya. Salah satu kios juga menjual mencit dengan satu set tempat peliharaannya yang didesain sebagai arena bermain sehingga pembeli dapat menikmati tingkah mencit layaknya sirkus. Di bagian tengah pasar, terdapat pedagang yang menjual jangkrik. Biasanya, jangkrik dibeli para pecinta burung untuk pakan dan anak sekolah yang ingin mendengarkan suaranya.
Kalau lelah atau pun lapar, seperti pasar tradisional lainnya, Ngasem juga menyediakan jajanan pasar. Salah satu jajanan yang khas adalah jenang gempol (terbuat dari bulatan berbahan dasar tepung beras yang berasa gurih dipadu dengan kuah dari santan dan sirup gula jawa yang manis) yang penjualanya bisa dijumpai di bagian depan pasar. Jajanan lain adalah getuk, lupis, thiwul, dan gatot. Di sebelah kios penjual burung juga tersedia warung-warung makan yang menjual soto dan nasi rames. Penjelajahan ke Pasar Ngasem akan menjadi menyenangkan tentunya.

tempat wisata jogja


Ada dua jenis candi di Indonesia, candi Hindu dan candi Budha. Sebagian besar candi-candi di Yogyakarta merupakan peninggalan kerajaan-kerajaan agung di abad ke-8 dan 9

Sabtu, 07 Februari 2009

seemakin menggila............................

...............................

suk snin dah diadain try out mpek hri kamis...............

rabunya ulangan TI.........


jum'atnya ulangan fisika n Pkn...........


sabtunya si Mun****jion